Mang Ayi dan
Wa Itok, Pelestari Pantun Buhun Khas Subang
Sing inget ka nu jadi indung bapa / Nu jadi indung mah
tunggul rahayu / Nu jadi bapa mah tangkal darajat / Sing nyaah ka nu jadi istri
/ Da keur ngadung mah siga keur perang sabil.
(Harus selalu ingat pada ibu dan ayah / ibu itu tiang
penyangga keselamatan / ayah itu pohon penopang kehormatan / harus sayang pada
istri / karena jika sedang mengandung itu seperti sedang perang sabil.)
Barisan kalimat tersebut adalah penggalan pantun
nasihat yang biasa dimainkan dalam pementasan pantun buhun khas Subang yang
dibawakan oleh dua senimannya, yaitu Mang Ayi dan Wa Itok.
Mereka adalah dua seniman Sunda yang sedang gencar
membangkitkan kembali kesenian pantun buhun khas Subang.
Petikan kecapi oleh Mang Ayi mengawali pentas pantun
buhun. Dilanjutkan oleh puji-pujian dan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT
dan juga para leluhur.
Pantun yang dibawakan, pada umumnya berisi nasihat
bagi manusia agar kehidupannya bisa lebih baik. Agar selalu ingat pada Tuhan
dan leluhurnya. Tidak jarang juga berisi kritik terhadap masalah sosial dan
pemerintahan.
Tapi tidak jarang juga kedua seniman ini memasukan
lelucon-lelucon yang selalu ditimpali oleh para penonton dan biasanya berhasil
membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
Menurut Mang Ayi, dulunya, pantun buhun sering
digunakan untuk menyampaikan informasi bagi masyarakat. Dan alur pantun buhun
memang harus selalu terkait dengan masalah sosial, negara, atapun pemerintahan.
“Kalau pantun yang dulu, nggak ada kawih, hanya pantun
atau dongeng saja. Biasanya buat menenangkan anak-anak yang sedang menangis
ataupun mengislamkan orang,” kata Mang Ayi.
Bahkan menurut Wa Itok, permainan kecapi dan pantun
ini sudah da sejak zaman Rasul. “Dulu itu, Prabu Kiansantar pun dalam
menyiarkan agama Islam di Jawa Barat ini memakai kecapi sebagai alatnya.” kata
Wa Itok.
Menurut Mang Ayi, kesenian ini memang asli Sunda, tapi
ia sendiri tidak tahu asal pastinya. Yang pasti, menurut dia, di setiap daerah,
pantun buhun memiliki ciri khas.
“Khususnya untuk bagian rajah, itu beda-beda tiap
daerah. Yang dimainkan ini khas Subang, kalau khas Bandung beda lagi isi rajah
dan cara penyampaiannya,” kata Mang Ayi.
Rajah atau pujian-pujian tersebutlah yang membedakan
pantun Sunda buhun ini dengan pantun-pantu Sunda yang ada sekarang. Rajah ini
hukumnya wajib dimainkan sebelum memulai pantun atau dongeng
“Fungsinya untuk menghubungkan dengan karuhun
(leluhur). Bukan ingin berbuat syirik dengan menyembah orang-orang yang sudah
meninggal. Hanya supaya anak-anak sekarang tidak lupa pada orang tua atau
karuhunnya,” tutur Mang Ayi.
Bahasa dalam rajah merupakan bahasa kuno yang
terkadang bahkan tidak bisa dimengerti oleh akal pikiran manusia. “Saya sendiri
terkadang tidak paham semua artinya apa. Saya juga belajar dari pun Bapa, yang
pasti itu adalah doa dan puji-pujian,” jelas Mang Ayi.
Mang Ayi sendiri tidak tahu dari mana rajah-rajah
tersebut berasal. Ia mendapatkan ilmu tersebut dari sang Ayah, yang juga
warisan dari Kakeknya. “Tidak tahu asalnya dari mana, yang pasti beda guru
biasanya beda rajah,” kata Mang Ayi.
Selain memainkan rajah, yang wajib dilakukan sebelum
pementasan pantun buhun adalah menyiapkan sesajen yang biasanya terdiri atas
kemenyan, kukut (tempat sesajen) yang besar berasama arangnya, bakakak ayam,
beberapa ikat padi, tanaman hanjuang, dan lainnya.
Menurut Mang Ayi, ragam dari isi sesajen tergantung
dari acara yang akan digelar, semakin besar acaranya, semakin lengkap pula isi
sesajennya. Namun adanya sesajen ini tidak dimaksudkan sebagai perbuatan
syirik. Ini hanyalah sebagai simbol.
“Misalnya, hasil bakar itu kan ada cahaya putih yang
menandakan hati yang bersih. Lalu cahaya merah yang menandakan manusia itu
punya nafsu. Dari pada bau tidak jelas, lebih baik bau kemenyan. Tujuannya
tetap pada Allah SWT,” katanya menjelaskan.
Pantun buhun juga biasanya di tanggap sebelum acara
hajatan (pesta) yang digelar oleh masyarakat Sunda, seperti halnya empat puluh
harian bayi, pernikahan atau pun ruwatan.
Namun, menurut Mang Ayi, pantun buhun ini bukan untuk
dimainkan dalam acara-acara mewah seperti halnya jaipong, rampak kendang, atau
yang lainnya.
Di Subang misalnya, masyarakat biasanya sering memakai
pantun buhun untuk acara melekan. Yaitu sebuah upacara yang diadakan sehari
sebelum sebuah keluarga melakukan hajat (pesta).
“Biasanya tujuannya agar semua anggota keluarga
tersebut bisa dibukankan matanya. Lahiriah atau pun batinnya,” ucap Mang Ayi.
Dan yang pasti, tiap acara, rajahnya berbeda. Semakin
besar acara, rajahnya harus semakin kokoh dan kuat.
“Misalnya untuk ruwatan, rajahnya itu harus yang
kokoh. Kalau kata orang tua jaman dulu, harus kuat, karena takut ada makhluk-makhluk
lain yang tersinggung,” ucap Mang Ayi.
Walaupun masih tergolong memainkan pantun buhun, namun
Mang Ayi dan Wa Itok melakukan beberapa modifikasi dalam pentas pantun buhun
yang mereka mainkan.
Misalnya terkadang mereka suka menambahkan unsur
rebab, sinden , kendang dan goong yang biasa disebut sebagai pantun beton.
“Tapi dua-duanya masih termasuk pantun buhun, itu hanya pelengkap saja,”
katanya.
Selain itu Mang Ayi dan Wa Itok mengakui bahwa mereka
tidak berani membawakan dongeng-dongeng asli buhun. Hal ini dikarenakan mereka
khawatir terhadap unsur-unsur dalam dongeng tersebut yang bertentangan dengan
agama dan logika berpikir masyarakat sekarang.
“Dulunya pantun buhun ya menceritakan galur (cerita)
buhun. Misalnya galur Sumedang-Indramayu, Prabu Siliwangi atau Sumedang Larang.
Tapi sekarang banyak cerita-cerita tersebut yang sudah tidak masuk lagi untuk
generasi sekarang. Jadi banyak kami membawakan naskah-naskah baru,” kata Wa
Itok.
Mang Ayi mengatakan, pantun buhun itu adalah kesenian
yang sangat sederhana, tapi penuh dengan makna yang tertuang secara implisit.
“Itulah yang membuat saya mendalami pantun buhun. Khususnya saat kita bisa
meresapi makna dalam rajahnya itu,” tutur Mang Ayi. (Antara)
1 komentar:
Hi, Yayasan Saung Pantun Mang Ayi Kabupaten Subang!
Sebelumnya nama saya Navira, mahasiswi dari Lasalle College of the Arts, Singapore. Saya sedang merangkai skripsi akhir tahun saya yang meneliti hubungan legenda lokal di Jawa Barat dengan situs warisannya. Dalam penelitian saya, saya juga membahas tentang bentuk-bentuk tradisi lisan, yaitu Pantun Sunda. Saya tertarik untuk melakukan wawancara dengan Mang Ayi, selaku seniman sunda yang masih mempertahankan pementasan pantun tersebut. Tujuan dari wawancara ini untuk membahas relevansi dari cerita-cerita Sunda yang disampaikan melalui pementasan pantun Sunda di masyarakat sekarang. Saya tertarik untuk mengetahui lebih dalam proses pementasan Pantun Sunda untuk bisa dapat melestarikannya. Apakah ada nomer ataupun sosial media yang saya bisa hubungi untuk membahas ini lebih lanjut?
Atas perhatian dan waktunya saya ucapkan terima kasih.
Salam,
Navira Ardi
Posting Komentar