Yayasan Saung Pantun Mang Ayi

Jumat, 24 Maret 2017

Pantun Sunda

Pantun Sunda

Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop, namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi seni dan cerita Pantun. Memang ada perubahan instrumen kecapi pantun yang semula berda wai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang diguna kan untuk mengiringi kacapi tersebut adalah pelog, selanjut nya banyak menggunakan laras salendro.
Seni Pantun saling mempengaruhi dengan seni tembang Cianjuran, seperti pada lirik (rumpaka), lagu Cianjuran dan waditra dari kacapi pantun sampai sekarang, bahkan beberapa lagu cianjuran yang berwanda papantunan sangat kental nuansa ritualnya. Ciri-ciri tembang cianjuran yang berwanda papantunan berlaras pelog; lagu berirama merdika; tesisnya jatuh pada nada-nada 2 (mi) dan 5 (la); cara pirig kacapi di kemprang; tidak mengandung nada-nada tinggi; lirik (rumpa ka) berbentuk puisi pantun, setiap barisnya terdiri dari 8 suku kata, bersajak (murwakanti), sisindiran atau pupuh. (Apung S. Wiraatmadja : 2006)
Pada masa tersebut pantun dibawa masuk kedalam ling kungan kedaleman Bupati Cianjur, bahkan para juru pantun banyak diantaranya seniman kadaleman, sehingga ada unsur yang saling mempengaruhi antara pantun dan tembang Cian juran. Beberapa juru pantun ternama dari Cianjur, diantaranya R.Tjandramanggala, yang hidup pada masa pemerinta han Dalem Pamoyanan (1691-1707); R.Tjakradiparana, yang hidup pada masa pemerintahan Dalem Moehidin (1776); Ki Wasita pada masa Dalem Enoch Pancaniti (1834-1863); Aong Djajalahiman pada masa pemerintahan Dalem Prawiradireja 2 (1863-1910).
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkirakan ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahkan kebera daan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an. Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ke tepatan kepada siapa harus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun maka perlu bertanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut : "Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya." (Bila ingin tahu tenetang pantun, seperti Langgalarang, banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun).
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melainkan juga kandungan dan makna dari kisah yang di tuturkan pemantun (petutur pantun), terutama tentang toton den mangsa yang sering diselipkan Ki Juru Pantun. Pantun Sunda sama hal nya dengan teater tutur di wilayah Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyu mas, warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sula wesi Selatan, bakaba di Minangkabau.
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan dari penyediaan sesajen; ngukus; mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; kemudian ditutup dengan mengumandangkan rajah pamung kas. Alur cerita pantun terdiri dari tiga bagian, yaitu Rajah Pembuka, isi cerita dan rajah penutup (pamunah). Rajah pem buka dan rajah penutup biasanya dilagukan, sedangkan isi ce rita di dilagukan atau di bacakan narasinya. Pertunjukan pan tun dilakukan pada malam hari. Jakob Sumardjo megistilah kan waktu pertunjukan pantun, yaitu : di luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara ngaru wat (ruatan), biasanya dimulai tengah malam sampai hampir terbitnya matahari. Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual nga ruat (ruatan). Cerita untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, sedang kan untuk acara ritual (ngaruat), sama halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.

0 komentar:

Posting Komentar