Pantun Sunda
Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop,
namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi seni
dan cerita Pantun. Memang ada perubahan instrumen kecapi pantun yang
semula berda wai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya
seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan
akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang diguna kan untuk
mengiringi kacapi tersebut adalah pelog, selanjut nya banyak menggunakan
laras salendro.
Seni Pantun saling mempengaruhi dengan seni tembang Cianjuran, seperti
pada lirik (rumpaka), lagu Cianjuran dan waditra dari kacapi pantun
sampai sekarang, bahkan beberapa lagu cianjuran yang berwanda papantunan
sangat kental nuansa ritualnya. Ciri-ciri tembang cianjuran yang
berwanda papantunan berlaras pelog; lagu berirama merdika; tesisnya
jatuh pada nada-nada 2 (mi) dan 5 (la); cara pirig kacapi di kemprang;
tidak mengandung nada-nada tinggi; lirik (rumpa ka) berbentuk puisi
pantun, setiap barisnya terdiri dari 8 suku kata, bersajak (murwakanti),
sisindiran atau pupuh. (Apung S. Wiraatmadja : 2006)
Pada masa tersebut pantun dibawa masuk kedalam ling kungan kedaleman
Bupati Cianjur, bahkan para juru pantun banyak diantaranya seniman
kadaleman, sehingga ada unsur yang saling mempengaruhi antara pantun dan
tembang Cian juran. Beberapa juru pantun ternama dari Cianjur,
diantaranya R.Tjandramanggala, yang hidup pada masa pemerinta han Dalem
Pamoyanan (1691-1707); R.Tjakradiparana, yang hidup pada masa
pemerintahan Dalem Moehidin (1776); Ki Wasita pada masa Dalem Enoch
Pancaniti (1834-1863); Aong Djajalahiman pada masa pemerintahan Dalem
Prawiradireja 2 (1863-1910).
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan
didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkirakan ditulis pada tahun
1518 Masehi, bahkan kebera daan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an.
Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ke
tepatan kepada siapa harus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun
maka perlu bertanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut
: "Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi,
Haturwangi; prepantun tanya." (Bila ingin tahu tenetang pantun, seperti
Langgalarang, banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun).
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melainkan juga
kandungan dan makna dari kisah yang di tuturkan pemantun (petutur
pantun), terutama tentang toton den mangsa yang sering diselipkan Ki
Juru Pantun. Pantun Sunda sama hal nya dengan teater tutur di wilayah
Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyu mas,
warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sula wesi Selatan,
bakaba di Minangkabau.
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan dari penyediaan
sesajen; ngukus; mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari
pembukaan hingga penutupan; kemudian ditutup dengan mengumandangkan
rajah pamung kas. Alur cerita pantun terdiri dari tiga bagian, yaitu
Rajah Pembuka, isi cerita dan rajah penutup (pamunah). Rajah pem buka
dan rajah penutup biasanya dilagukan, sedangkan isi ce rita di dilagukan
atau di bacakan narasinya. Pertunjukan pan tun dilakukan pada malam
hari. Jakob Sumardjo megistilah kan waktu pertunjukan pantun, yaitu : di
luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara
ngaru wat (ruatan), biasanya dimulai tengah malam sampai hampir
terbitnya matahari. Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua
bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual nga ruat (ruatan). Cerita
untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang
dikuasai juru pantun, sedang kan untuk acara ritual (ngaruat), sama
halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.
0 komentar:
Posting Komentar