Yayasan Saung Pantun Mang Ayi

Sabtu, 01 April 2017

Logo Yayasan Saung Pantun Mang Ayi


Jumat, 24 Maret 2017

Kesenian Gembyung Subang






Gembyung berasal dari dua suku kata yakni gem dan yung. Gem berasal dari kata ageman yang artinya ajaran, pedoman, atau paham yang dianut oleh manusia. Suku kata byung berasal dari kata kabiruyungan yang artinya kepastian untuk dilaksanakan. Gembyung memiliki nilai-nilai keteladanan untuk dijadikan pedoman hidup. Kesenian ini pertama kali berkembang pada masa penyebaran agama Islam, pada saat itu gembyung dimainkan oleh para santri pesantren dengan bimbingan sesepuh pesantren.
Gembyung merupakan kesenian tradisional yang menggunakan genjring sebagai alat musik utama. Pada saat pementasan kesenian ini selalu menampilkan alunan musik tradisional, mengandung unsur yang dianggap sakral. Hal ini tetap dipegang teguh oleh para seniman gembyung, untuk menjaga keaslian seni tradisi warisan leluhur ini Gembyung terdiri dari beberapa unsur yaitu waditra, pangrawit atau pemain alat musik, juru kawih, penari, dan busana. Waditra yang dipakai adalah genjring kemprang, genjring kempring, genjring gembrung, gendang, dan kecrek. Nayaga atau pemain alat musik, terdiri dari lima orang. pada saat pementasan biasanya nayaga mengambil posisi duduk atau bersila.
Juru kawih gembyung biasanya laki-laki atau seorang dari yang memainkan genjring. Sehingga selain menggunakan genjring, juru kawih juga melantunkan lagu. Lagu yang dilantunkan juru kawih biasanya lagu berbahasa Sunda buhun, hal tersebut dapat didengar dari syair lagu yang kurang dipahami. Beberapa buah lagu buhun yang dinyanyikan oleh juru kawih antara lain ya bismillah, raja sirai, siuh, rincik manic, engko, dan geboy.
Penari. Penari gembyung biasanya seorang anak laki-laki atau bisa juga dari penonton yang sangat menyukai seni gembyung. Sehingga antara penari dengan penonton bisa melakukan tarian bersama-sama. Tarian gembyung mempunyai kekhasan antara lain gerakan atri dilakukan secara pelan, sesuai irama gembyung, dan penari biasanya sangat menikmati irama tarian ini. Ada juga penari yang seperti kerasukan dengan mata terpejam, pada saat alunan musik berhenti, penari seperti baru tersadar.
Busana, yang dipakai oleh pemain biasanya mengenakan pakaian tradisional Sunda seperti iket, kampret, dan celana pangsi. Sedangkan busana penari selain mengenakan pakaian tersebut juga memakai selendang. ()

Pantun Sunda

Pantun Sunda

Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop, namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi seni dan cerita Pantun. Memang ada perubahan instrumen kecapi pantun yang semula berda wai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang diguna kan untuk mengiringi kacapi tersebut adalah pelog, selanjut nya banyak menggunakan laras salendro.
Seni Pantun saling mempengaruhi dengan seni tembang Cianjuran, seperti pada lirik (rumpaka), lagu Cianjuran dan waditra dari kacapi pantun sampai sekarang, bahkan beberapa lagu cianjuran yang berwanda papantunan sangat kental nuansa ritualnya. Ciri-ciri tembang cianjuran yang berwanda papantunan berlaras pelog; lagu berirama merdika; tesisnya jatuh pada nada-nada 2 (mi) dan 5 (la); cara pirig kacapi di kemprang; tidak mengandung nada-nada tinggi; lirik (rumpa ka) berbentuk puisi pantun, setiap barisnya terdiri dari 8 suku kata, bersajak (murwakanti), sisindiran atau pupuh. (Apung S. Wiraatmadja : 2006)
Pada masa tersebut pantun dibawa masuk kedalam ling kungan kedaleman Bupati Cianjur, bahkan para juru pantun banyak diantaranya seniman kadaleman, sehingga ada unsur yang saling mempengaruhi antara pantun dan tembang Cian juran. Beberapa juru pantun ternama dari Cianjur, diantaranya R.Tjandramanggala, yang hidup pada masa pemerinta han Dalem Pamoyanan (1691-1707); R.Tjakradiparana, yang hidup pada masa pemerintahan Dalem Moehidin (1776); Ki Wasita pada masa Dalem Enoch Pancaniti (1834-1863); Aong Djajalahiman pada masa pemerintahan Dalem Prawiradireja 2 (1863-1910).
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkirakan ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahkan kebera daan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an. Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ke tepatan kepada siapa harus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun maka perlu bertanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut : "Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya." (Bila ingin tahu tenetang pantun, seperti Langgalarang, banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun).
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melainkan juga kandungan dan makna dari kisah yang di tuturkan pemantun (petutur pantun), terutama tentang toton den mangsa yang sering diselipkan Ki Juru Pantun. Pantun Sunda sama hal nya dengan teater tutur di wilayah Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyu mas, warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sula wesi Selatan, bakaba di Minangkabau.
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan dari penyediaan sesajen; ngukus; mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; kemudian ditutup dengan mengumandangkan rajah pamung kas. Alur cerita pantun terdiri dari tiga bagian, yaitu Rajah Pembuka, isi cerita dan rajah penutup (pamunah). Rajah pem buka dan rajah penutup biasanya dilagukan, sedangkan isi ce rita di dilagukan atau di bacakan narasinya. Pertunjukan pan tun dilakukan pada malam hari. Jakob Sumardjo megistilah kan waktu pertunjukan pantun, yaitu : di luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara ngaru wat (ruatan), biasanya dimulai tengah malam sampai hampir terbitnya matahari. Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual nga ruat (ruatan). Cerita untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, sedang kan untuk acara ritual (ngaruat), sama halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.

Mang Ayi dan Wa Itok Pelestari Pantun Buhun Khas Subang






Mang Ayi dan Wa Itok, Pelestari Pantun Buhun Khas Subang
Sing inget ka nu jadi indung bapa / Nu jadi indung mah tunggul rahayu / Nu jadi bapa mah tangkal darajat / Sing nyaah ka nu jadi istri / Da keur ngadung mah siga keur perang sabil.
(Harus selalu ingat pada ibu dan ayah / ibu itu tiang penyangga keselamatan / ayah itu pohon penopang kehormatan / harus sayang pada istri / karena jika sedang mengandung itu seperti sedang perang sabil.)
Barisan kalimat tersebut adalah penggalan pantun nasihat yang biasa dimainkan dalam pementasan pantun buhun khas Subang yang dibawakan oleh dua senimannya, yaitu Mang Ayi dan Wa Itok.
Mereka adalah dua seniman Sunda yang sedang gencar membangkitkan kembali kesenian pantun buhun khas Subang.
Petikan kecapi oleh Mang Ayi mengawali pentas pantun buhun. Dilanjutkan oleh puji-pujian dan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dan juga para leluhur.
Pantun yang dibawakan, pada umumnya berisi nasihat bagi manusia agar kehidupannya bisa lebih baik. Agar selalu ingat pada Tuhan dan leluhurnya. Tidak jarang juga berisi kritik terhadap masalah sosial dan pemerintahan.
Tapi tidak jarang juga kedua seniman ini memasukan lelucon-lelucon yang selalu ditimpali oleh para penonton dan biasanya berhasil membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
Menurut Mang Ayi, dulunya, pantun buhun sering digunakan untuk menyampaikan informasi bagi masyarakat. Dan alur pantun buhun memang harus selalu terkait dengan masalah sosial, negara, atapun pemerintahan.
“Kalau pantun yang dulu, nggak ada kawih, hanya pantun atau dongeng saja. Biasanya buat menenangkan anak-anak yang sedang menangis ataupun mengislamkan orang,” kata Mang Ayi.
Bahkan menurut Wa Itok, permainan kecapi dan pantun ini sudah da sejak zaman Rasul. “Dulu itu, Prabu Kiansantar pun dalam menyiarkan agama Islam di Jawa Barat ini memakai kecapi sebagai alatnya.” kata Wa Itok.
Menurut Mang Ayi, kesenian ini memang asli Sunda, tapi ia sendiri tidak tahu asal pastinya. Yang pasti, menurut dia, di setiap daerah, pantun buhun memiliki ciri khas.
“Khususnya untuk bagian rajah, itu beda-beda tiap daerah. Yang dimainkan ini khas Subang, kalau khas Bandung beda lagi isi rajah dan cara penyampaiannya,” kata Mang Ayi.
Rajah atau pujian-pujian tersebutlah yang membedakan pantun Sunda buhun ini dengan pantun-pantu Sunda yang ada sekarang. Rajah ini hukumnya wajib dimainkan sebelum memulai pantun atau dongeng
“Fungsinya untuk menghubungkan dengan karuhun (leluhur). Bukan ingin berbuat syirik dengan menyembah orang-orang yang sudah meninggal. Hanya supaya anak-anak sekarang tidak lupa pada orang tua atau karuhunnya,” tutur Mang Ayi.
Bahasa dalam rajah merupakan bahasa kuno yang terkadang bahkan tidak bisa dimengerti oleh akal pikiran manusia. “Saya sendiri terkadang tidak paham semua artinya apa. Saya juga belajar dari pun Bapa, yang pasti itu adalah doa dan puji-pujian,” jelas Mang Ayi.
Mang Ayi sendiri tidak tahu dari mana rajah-rajah tersebut berasal. Ia mendapatkan ilmu tersebut dari sang Ayah, yang juga warisan dari Kakeknya. “Tidak tahu asalnya dari mana, yang pasti beda guru biasanya beda rajah,” kata Mang Ayi.
Selain memainkan rajah, yang wajib dilakukan sebelum pementasan pantun buhun adalah menyiapkan sesajen yang biasanya terdiri atas kemenyan, kukut (tempat sesajen) yang besar berasama arangnya, bakakak ayam, beberapa ikat padi, tanaman hanjuang, dan lainnya.
Menurut Mang Ayi, ragam dari isi sesajen tergantung dari acara yang akan digelar, semakin besar acaranya, semakin lengkap pula isi sesajennya. Namun adanya sesajen ini tidak dimaksudkan sebagai perbuatan syirik. Ini hanyalah sebagai simbol.
“Misalnya, hasil bakar itu kan ada cahaya putih yang menandakan hati yang bersih. Lalu cahaya merah yang menandakan manusia itu punya nafsu. Dari pada bau tidak jelas, lebih baik bau kemenyan. Tujuannya tetap pada Allah SWT,” katanya menjelaskan.
Pantun buhun juga biasanya di tanggap sebelum acara hajatan (pesta) yang digelar oleh masyarakat Sunda, seperti halnya empat puluh harian bayi, pernikahan atau pun ruwatan.
Namun, menurut Mang Ayi, pantun buhun ini bukan untuk dimainkan dalam acara-acara mewah seperti halnya jaipong, rampak kendang, atau yang lainnya.
Di Subang misalnya, masyarakat biasanya sering memakai pantun buhun untuk acara melekan. Yaitu sebuah upacara yang diadakan sehari sebelum sebuah keluarga melakukan hajat (pesta).
“Biasanya tujuannya agar semua anggota keluarga tersebut bisa dibukankan matanya. Lahiriah atau pun batinnya,” ucap Mang Ayi.
Dan yang pasti, tiap acara, rajahnya berbeda. Semakin besar acara, rajahnya harus semakin kokoh dan kuat.
“Misalnya untuk ruwatan, rajahnya itu harus yang kokoh. Kalau kata orang tua jaman dulu, harus kuat, karena takut ada makhluk-makhluk lain yang tersinggung,” ucap Mang Ayi.
Walaupun masih tergolong memainkan pantun buhun, namun Mang Ayi dan Wa Itok melakukan beberapa modifikasi dalam pentas pantun buhun yang mereka mainkan.
Misalnya terkadang mereka suka menambahkan unsur rebab, sinden , kendang dan goong yang biasa disebut sebagai pantun beton. “Tapi dua-duanya masih termasuk pantun buhun, itu hanya pelengkap saja,” katanya.
Selain itu Mang Ayi dan Wa Itok mengakui bahwa mereka tidak berani membawakan dongeng-dongeng asli buhun. Hal ini dikarenakan mereka khawatir terhadap unsur-unsur dalam dongeng tersebut yang bertentangan dengan agama dan logika berpikir masyarakat sekarang.
“Dulunya pantun buhun ya menceritakan galur (cerita) buhun. Misalnya galur Sumedang-Indramayu, Prabu Siliwangi atau Sumedang Larang. Tapi sekarang banyak cerita-cerita tersebut yang sudah tidak masuk lagi untuk generasi sekarang. Jadi banyak kami membawakan naskah-naskah baru,” kata Wa Itok.
Mang Ayi mengatakan, pantun buhun itu adalah kesenian yang sangat sederhana, tapi penuh dengan makna yang tertuang secara implisit. “Itulah yang membuat saya mendalami pantun buhun. Khususnya saat kita bisa meresapi makna dalam rajahnya itu,” tutur Mang Ayi. (Antara)